Beberapa hari yang lalu saya sempat membaca sebuah naskah dari sebuah penerbit, ceritanya bagus, namun sayang ada beberapa kesalahan edit. Sebenarnya bagi orang yang awam EYD itu tak masalah, namun ini sebuah naskah dari penerbit XXXX yang notabenenya adalah penerbit besar.
Saya menulis kisah ini juga bukan untuk menjatuhkan, tapi bagaimana kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini. Menjadi editor itu memang tak mudah, di tangannya sebuah naskah itu ibarat nyawa dan dia pemegang kunci nyawa naskah tersebut. Maksudnya sebuah naskah yang bagus ada peran editor dibaliknya. Yang tak pernah orang tahu, di belakang naskah best seller selalu ada editor yang berjuang mati-matian demi sebuah naskah yang bagus. Jadi kunci bagus atau tidaknya suatu naskah bukan hanya tergantung pada penulis, tapi pada editor.
Ibaratnya editor pemegang kunci hidup mati sebuah naskah dari segi EYD. EYD itu adalah faktor vital. Sebuah naskah yang bagus tapi bila EYDnya hancur sama saja dengan sebuah makanan yang penyajiannya terlihat bagus tapi rasanya tidak enak.
Sungguh sangat disayangkan bila suatu naskah bagus, tapi EYDnya berantakan. Bagi sebagian orang yang tidak tahu mungkin tidak masalah, tapi bagi orang yang paham EYD itu akan menjadi masalah besar. Sebuah naskah bisa saja ditolak bahkan tidak dibaca hanya karna EYDnya.
Kasus yang berbeda saya temui beberapa minggu yang lalu. Sebagai penerbit indie, Ae publishing menjunjung tinggi sebuah profesionalitas, ingat ini bukan promosi melainkan curhatan saya. Setiap naskah yang masuk ke penerbit kami mengalami 3 proses editing dengan 3 editor. Bayangkan saja kami bahkan menjunjung tinggi tata bahasa yang baik hingga melibatkan 3 editor sekaligus sebelum di finishing dengan direktur kami.
Kemarin saya sempat dipercaya mengedit sebuah naskah non fiksi dari sebuah kampus besar. Kinerja yang seharusnya 30 hari dipercepat karena kejar launching. Mereka hanya meminta edit EYD saja, sementara naskahnya bisa dibilang cukup parah. Sanggupkah saya membunuh naskah ini dan membiarkannya? Jawabannya tidak, saya tahu seperti apa susahnya menulis itu, jadi saya berusaha sekuata tenaga saya untuk yang terbaik. Walaupun saya sempat kelabakan, pasalnya banyak agenda kerja lapangan dan ikut seminar di luar kota. Hal tersebut belum terhitung dengan rasa lelah akibat perjalanan panjang.
Saya tidak bermaksud mengeluh, saya tetap mencoba semangat walaupun sempat setengah naskah yang saya edit mendadak hilang. Hampir setengah buku, rasanya ingin menangis. Tapi apa dengan menangis semuanya bisa kembali?
Saya mengedit ulang, jujur ada satu hal yang saya pertanyakan, mereka bilang ini naskah terbaik. Tapi ini naskah pertama yang bikin saya stress bahkan sempat hampir menyerah. Bunda Anisa Ae yang melihat saya mengedit pun sampai bilang, "Kak, apa mengedit naskah ini kamu harus dengan tampang serius seperti itu?" tanyanya. Karena biasanya saya mengedit naskah pasti dengan tampang ceria, mungkin karena kali ini saya menghayati peran saya. Saya berusaha sekuat tenaga untuk naskah ini, walaupun jika naskah ini terkenal, saya hanya berdiri di belakang layar. Tapi saya ikhlas.
Yang saya takutkan saat mengedit adalah saya melakukan kesalah, jadi saya berusaha berhati-hati. Saya tidak ingin mengecewakan kepercayaan Bunda Anisa Ae, teman, sahabat sekaligus editor senior yang memberi saya banyak pelajaran.
Saya memang belum apa-apa, namun tidak ada salahnya jika kita melakukan yang terbaik. Memang editor juga manusia yang berhak melakukan kesalahan, tapi alangkah indahnya bila kita bisa mengerjakan yang terbaik dan mempersembahkannya kepada klien. :)
Sebuah apresiasi buat seluruh editor di Indonesia, kalian luar biasa!
Terima kasih sudah membaca :). Luangkan waktu untuk memberikan komentar, joinsite my blog, follow me on twitter @queenlionade facebook: Endang Indri Astuti
Komentar
Semoga Aku bisa ketularan semangatnya.