Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret 13, 2016

Sumpah Palapa Penulis (Dimuat di Harian Surya, 24 Februari 2016)

Ada pemandangan tak biasa ketika saya mengikuti Workshop menulis bersama FLP Solo Jum’at 12 Februari lalu. Pasalnya saya seperti peserta lomba yang tersesat diantara puluhan anak-anak SD. Ini beneran lomba cernak untuk umum bukan sih, kok pesertanya anak-anak SD? Saya yang paling besar sendiri dong.

Surat Terbuka untuk Kiko Insa (Dimuat di Harian Surya, 7 Maret 2016)

Reportase : Endang Indri Astuti Pegiat literasi/Aremanita Klaten twitter @queenlionade Kepergian Kiko Insa dari Arema meninggalkan banyak cerita. Keputusan pelatih yang tiba-tiba dan hengkangnya Kiko Insa dari Arema tentunya mengagetkan. Terlebih bagi saya yang mencintai klub berjuluk singo edan tersebut. Hari-hari saya dipenuhi dengan banyak tulisan di beranda media sosial dengan hastag #SAVEKIKO, bahkan tak jarang ada perbedaan pendapat antar Aremania sendiri. Saya sedikit miris, karena dengan hengkangnya Kiko, kita kehilangan pilar lagi setelah kehilangan Samsul Arif dan Purwaka Yudi ke Persib yang juga terkesan mendadak.

Inilah Alasan Kenapa Tulisan-Tulisan Haris Firmansyah Wajib Kamu Baca

        Judulnya udah mirip artikel-artikel di Hipwee dan situs-situs beken lainnya ya? Padahal mah ini postingan absurd, yang walaupun absurd memang wajib kamu baca, kalau enggak baca berarti kamu kagak gaul. #maksa.   Tampilan blog bang Haris. Pict by: nyolong di www.harisfirmansyah.com Haris Fimansyah? Udah pada kenal? Kalau belum, kenalan gih! Kasian dia jomblo. Haa? Kali ini saya enggak akan bahas tentang Haris Firmansyah, kalau mau kenalan sama dia silakan klik di sini. Sesekali inboklah, biar inboknya enggak sepi. Eh. 

The Last 8 Days in The WOrld.

            “May be one day you’ll understand why, everything you touch surely dies” (Passenger_Let Her Go)             Bagaimana jika hidup saya di bumi ini hanya tinggal beberapa hari. Apa yang harus saya lakukan? Haruskah saya pindah ke planet lain agar bisa bertahan hidup? Atau malah memilih momen kematian romantis dan tak terlupakan, seperti mati saat sedang salat, mati dipelukan ibu sambil dielus-elus kepalanya. Atau mati di pelukan kamu? Iya kamu? Bukan kamu! Kamu itu itu loh calon imamku yang mungkin saja saat aku mati kamu sudah jadi imamku. Ataukah saya harus mati seperti Tom Cruise di film Oblivion yang rela mati demi menyelamatkan bumi?