Dulu
dikenal sebagai seorang preman, kemudian sekarang berubah menjadi seorang
penulis novel adalah sebuah cerita nyata seorang Kang Acil. Kurniawan Al Isyhad
atau yang sering dikenal dengan Kang Acil, seorang pemuda yang mampu keluar
dari jalanan dan membuat hidupnya lebih baik dengan menulis. Sebenarnya saya
sudah lama mengenal pria ini, karena sempat beberapa kali menjadi pembawa acara
Kelas Sabar di grup Goresan Pena Sang Penulis, serta Kelas Mimintalk di Antologi
Es Campur yang kebetulan kedua kelas itu pernah mengundang Kang Acil sebagai
pengisi kelas di sana.
Dalam
sharing kedua kelas itu ada banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari sharing
kepenulisan, tanya jawab tentang tips kepenulisan hingga berbagi pengalaman
hidup penulis novel Syahadat Cinta Sang Atheis ini. Mendengar kisah hidupnya
membuat saya ingin menangis, terlebih karena dia memulai awal karier menulisnya
dari dunia yang bisa dibilang cukup keras kehidupannya. Kang Acil adalah
penulis novel Jejak-Jejak Hujan, Bidadari Surgaku, Dan Cinta pun Berkiblat
Padanya, Lafal Cinta, Syahadat Cinta Sang Atheis, Mencintaimu Apa Harus Sesakit
ini dan dua novel lainnya yang sedang menanti terbit di mayor.
Tak
mudah baginya yang seorang mantan anak jalanan dan preman ini melewati
masa-masa suram hidupnya. Kisahnya berawal dari menjadi anak jalanan, “Awal
mula saya terjun di jalanan adalah ketika kelas dua SMP. Saya menjadi seorang
pengamen, akibat uang jajan selalu kurang. Saya juga ingin meringankan beban ibu
saya yang cuma sebagai seorang pembantu rumah tangga untuk bertahan hidup.
Satu-satunya cara mendapatkan uang saat itu ya hanya dengan mengamen,” tutur
pemilik twitter @alisyhad212 tersebut.
Kang
Acil sempat terjebak dalam dunia narkoba, bahkan dia mengaku seorang mantan
penghisap ganja sewaktu SMP. Kerika ditanya alasannya, dia salah berpikir bahwa
ganja bisa membuatnya percaya diri saat di panggung, tutur mantan anak band
tersebut. Namun masa-masa suram hidupnya berakhir ketika ayahnya tahu bahwa dia
pengguna narkoba. Saat itu ibunya menangis, karena sang ayah marah besar
padanya. Sejak kecil ia tak pernah tega jika ada orang yang membentak sang ibu,
terlebih melukainya. “Sejak saat itu ibu membuang saya ke pondok pesantren. Di
sanalah saya mendapat nama Al Isyhad. Saya juga terbebas dari kecanduan. Namun
efek narkoba masih terasa, dosis obat saya berbeda dengan orang normal. Jika
sakit satu obat saja tak cukup bagi saya, bahkan saya harus mengkonsumsi 8
butir sekaligus baru terasa khasiatnya,” ceritanya pada saya beberapa hari yang
lalu.
Pelajaran
hidup dari jalanan tentunya memberikan pelajaran berharga bagi Kang Acil,
lelaki yang kini tengah sibuk menulis dan mengisi harinya dengan membuka
bimbingan penulis novel tersebut juga tak segan-segan berbagi proses kreatif
menulisnya kepada penulis lain. Pemilik facebook Kang Acil ini ketika ditanya
motivasi menulis oleh seorang GPSP lovers dalam sharing beberapa bulan yang
lalu dia menjawab,” Motivasi menulis saya adalah ibu dan saya terbebas dari
narkoba pun juga karena ibu,” tutur pria kelahiran Cimahi ini. Awal menulisnya
pun juga tak disengaja, berawal dari iseng sampai akhirnya kini dia bisa
menjadi seorang novelis.
Baginya
menulis adalah hidup dan penghidupan. Disebut olehnya hidup, karena tanpa
menulis seperti ada sesusatu yang kurang dan penghidupan, karena menulis sebagai
salah satu cara untuk mendapatkan rezeki dari Tuhan. Untuk menjadi penulis
memang tak mudah, terkadang kritikan tajam sering kita terima. Dan tak jarang
pula karena kritikan tersebut banyak yang tumbang sebelum berperang, ketika
ditanya tentang masalah menghadapi kritikan Kang Acil berkata seperti ini,
“Anggaplah kita sebuah pohon dan kita tahu kan sebatang pohon tidak akan bisa
tumbuh subur tanpa pupuk. Dan semua tahu pupuk yang bagus itu adalah kotoran.
Jadi anggap saja kritikan itu sebagai pupuk untuk membuatmu tumbuh menjadi
pribadi yang luhur. Tanpa kritikan jiwamu bisa kontet dan haus akan pujian,”
ungkap penulis novel Mencintaimu Apa Harus Sesakit ini tersebut.
Ada
satu hal yang mengusik saya untuk ditanyakan, kira-kira berapa kali Kang acil
menerima penolakan dari penerbit? Dan jawabannya sungguh mencengangkan, pria
ini hanya ditolak sekali oleh penerbit, yang lainnya novelnya mulus diterima
penerbit. Bagi saya itu luar biasa, pasalnya sulit untuk menembus penerbit
mayor yang notabene selektifnya sangat ketat. Usut punya usut ternyata Kang
Acil mempunyai rahasia novelnya bisa diterima oleh penerbit, selain mungkin
karena memang novelnya bagus, ada satu rahasia yang dimilikinya. “Agak tak
masuk akal sih menurut orang. Biasanya setelah selesai menulis saya minta ibu
untuk membaca naskah meski hanya satu paragraf. Lalu saya tanya bagus apa
tidak. Kalau ibu bilang itu bagus, saya meminta beliau untuk menyebut judul
novel saya ketika berdoa. Padahal ibu saya cuma seorang pembantu , namun saya
yakin ibu lebih mulia dari malaikat, dan doa ibu kepada seorang anaknya tak ada
penghalangnya,” gumam Kang Acil.
Sebuah
proses panjang untuk kembali dari dunia yang bisa dikatakan gelap ke kehidupan
yang lebih baik. Selain kerja keras, konsisten dan kemauan untuk menulis,
mungkin memang benar sebuah doa ibu menjadi berkah tersendiri bagi Kang Acil.
Kita dapat mengambil pelajaran dari Kang Acil bahwa setiap orang bisa
menentukan perubahan pada dirinya sendiri. Karena hidup kita bukan berada di
tangan orang lain dan tulisan kita berada di tangan kita sendiri baik dan
buruknya. Mari menginspirasi, mari menulis. Salam pena.
Terima kasih sudah membaca, jangan lupa tingalkan komentar, joinsite dan follow my twitter, facebook dan lain-lainnya.
Komentar