Mendobrak Dogma “Like”
menjadi Ukuran Sebuah Karya
Oleh: Endang Indri
Astuti
Dalam sebuah komunitas menulis,
sebuah dogma berkembang bahwa like adalah salah satu ukuran penilaian karya tulis.
Mengesampingkan penilaian EYD, isi karya, maupun teknik menulis lainnya.
Terlebih jika sebuah tulisan tersebut dilike maupun dikomentari oleh pemilik
grup yang notabenenya adalah seorang penulis nasional. Mirisnya beberapa
anggota mengamininya, bahwa ukuran sebuah karya yang bagus ditentukan dari
banyaknya like dan komentar dari anggota grup yang berkisar 130 ribu orang
tersebut. Bahkan ada yang berpikiran, sebuah karya tak perlu ada pengujian
ketat, seperti lewat media, maupun sebuah penerbit.
Dogma-dogma tersebut berkembang dan
mungkin saja akan menjadi doktrin sebuah ukuran paten karya. Tak perlu lagi
gagal berkali-kali menembus media, baik koran lokal maupun nasional. Tak usah
berharap-harap cemas mengirimkan sebuah tulisan di penerbit yang terkadang
waktu penantiannya berbulan-bulan. Tak perlu berkompetisi untuk menguji naskah
dan terus belajar. Beberapa kali anggota grup sempat melayangkan sebuah saran
untuk sebuah perubahan. Namun respon yang didapatkan tak sebanyak sebuah
postingan orang terkenal di grup tersebut.
Ada dua golongan penulis yang bisa
saya simpulkan di grup tersebut. Pertama, penulis dengan “like” banyak dan
penulis yang tenggelam. Di sana kualitas sebuah tulisan tak mempengaruhi
banyaknya peminat, tulisan yang banyak like diukur sebagai yang paling menarik
dan bagus. Beberapa tips menulis yang diberikan oleh beberapa orang terkadang
cepat sekali tenggelam dibandingkan sebuah curhatan abal-abal yang mempunyai
like banyak. Mereka seolah lupa tagline dari grup tersebut dibuat. Tentunya
sebuah grup menulis dibuat untuk ajang berlomba mengasah kemampuan di bidang
menulis, bukan ajang curhat.
Perjuangan berdarah-darah menembus
media seperti para penulis muda, Ken Hanggara, Wahyu Wibowo dan Seto Permada
atau Muhammad Walid Khakim tentunya tak perlu mereka lakukan karena dogma
tersebut. Ken Hanggara mengalami fase penantian hampir dua tahun untuk membuat
cerpennya diterima media. Lebih dari 200 cerpennya tak ada kabar bahkan
mengalami penolakan. Tak mudah baginya menggenggam gelar Unsa Ambassador 2015
dan menjadi juara kedua Asian Young Writer. Sama halnya dengan Wahyu Wibowo,
mahasiswa yang sedang menunggu awal kuliah S2nya ini tidak hanya aktif menulis
esai dan puisi di media. Wahyu yang sedang menggeluti dunia penjualan buku ini,
mengaku bahwa menulis bukan hanya perkara bersaing, tetapi juga lebih dari
menyampaikan pesan dari tulisan tersebut.
Sementara Dogma bahwa penulis kurang
berkembang di desa didobrak oleh Seto Permada. Seperti yang kita ketahui, bahwa
profesi penulis belum cukup popular di desa. Sebab terkadang orang menilai
berlama-lama di depan komputer tak akan menghasilkan uang. Maka Muhammad Walid
Khakim atau yang lebih dikenal Seto Permada mendobrak dogma tersebut dengan
terus mengirimkan cerpen ke media. Beberapa cerpennya juga sempat menghiasi
media dengan perjuangan berat. Walau tak jarang hampir 25 cerpen ditulisnya
dalam sebulan hanya satu yang berjodoh di media.
Salah satu pengujian sebuah tulisan
bisa juga dilakukan dengan mengirimkannya ke media cetak seperti koran, baik
lokal maupun nasional. Tidak bisa dipungkiri bahwa persaingan di media
sangatlah ketat, tidak semudah mendapat like di media sosial. Dalam sebuah
diskusi di Taman Fiksi, menanggapi pertanyaan betapa ketatnya persaingan di
media, Mas Gunawan Tri Atmodjo atau akrab disingkat GTA mengungkapkan bahwa “Menulis itu sudah dengan sendirinya laku
yang optimis. Maka sangat perlu menulis untuk menyenangkan diri sendiri. Saya
mempraktikan itu. Jika saya terhibur dengan apa yang saya tulis maka tak jadi
masalah jika tulisan tak dimuat. Menulis itu piknik yang menyenangkan, jangan
sampai member tekanan,” ungkap penulis buku Sundari Keranjingan Puisi
tersebut.
Sebuah karya membutuhkan pengakuan
lewat sebuah pengujian. Salah satu bentuk pengujian tersebut adalah melewati
media, maupun orang-orang yang kompeten di bidangnya. Saya sependapat dengan
pendapat Adam Yudhistira yang mengungkapkan “Tidak salah jika seseorang merasa bahagia dengan karya tulisnya
mendapat banyak like dan komentar. Terlepas dari tindakan tersebut adalah murni
bentuk apresiatif terhadap karya tulis. Atau hanya sebuah tindakan untuk
mendapat imbal balik (missal: jika si pemberi like dan komentar membuat
postingan karya tulis, ia berharap mendapat like dan jempol juga), yang salah
adalah menganggap benar bahwa asumsi karya tulis yang mendapat like dan komentar
terbanyak adalah sebuah karya yang bagus. Jelas ini pendapat dangkal dan
ecek-ecek. Apalagi jika ditambah: tidak semua karya tulis harus dibuktikan
dengan menembus media. Cupak sekali!.
Semua karya, saya perjelas, semua karya harus melalui pengujian untuk
membuktikan bahwa kualitasnya bagus. Pengujian ini wajib dan mutlak hukumnya
dilakukan oleh orang-orang kredibel, dan memang berpengalaman di bidangnya dan
diakui. Siapa mereka? Pikirkan saja sendiri,” jelas Bang Adam Yudhistira.
Jelas sebuah dogma like menjadi
sesuatu yang miris jika dibiarkan. Para penulis di grup tersebut, termasuk penganut
dogma ini akan berlomba-lomba mendapatkan like
untuk tulisannya, bukan belajar
memperbaiki apa yang ditulisnya, maupun berusaha menguji karyanya lewat
tangan-tangan yang kompeten. Jika dogma tersebut telah menjadi doktrin, maka
bagi mereka tak ada yang lebih membanggakan selain mendapat like
sebanyak-banyaknya. Lebih parahnya mereka akan mendewakan tulisannya sendiri
dan merasa yang terbaik. Penulis yang enggan belajar sama saja seperti penulis
yang membunuh karyanya pelan-pelan.
Komentar