Langsung ke konten utama

Mendobrak Dogma “Like” menjadi Ukuran Sebuah Karya (Dimuat di Radar Mojokerto, 20 Maret 2016)



Mendobrak Dogma “Like” menjadi Ukuran Sebuah Karya
Oleh: Endang Indri Astuti


            Dalam sebuah komunitas menulis, sebuah dogma berkembang bahwa like adalah salah satu ukuran penilaian karya tulis. Mengesampingkan penilaian EYD, isi karya, maupun teknik menulis lainnya. Terlebih jika sebuah tulisan tersebut dilike maupun dikomentari oleh pemilik grup yang notabenenya adalah seorang penulis nasional. Mirisnya beberapa anggota mengamininya, bahwa ukuran sebuah karya yang bagus ditentukan dari banyaknya like dan komentar dari anggota grup yang berkisar 130 ribu orang tersebut. Bahkan ada yang berpikiran, sebuah karya tak perlu ada pengujian ketat, seperti lewat media, maupun sebuah penerbit.

            Dogma-dogma tersebut berkembang dan mungkin saja akan menjadi doktrin sebuah ukuran paten karya. Tak perlu lagi gagal berkali-kali menembus media, baik koran lokal maupun nasional. Tak usah berharap-harap cemas mengirimkan sebuah tulisan di penerbit yang terkadang waktu penantiannya berbulan-bulan. Tak perlu berkompetisi untuk menguji naskah dan terus belajar. Beberapa kali anggota grup sempat melayangkan sebuah saran untuk sebuah perubahan. Namun respon yang didapatkan tak sebanyak sebuah postingan orang terkenal di grup tersebut.

            Ada dua golongan penulis yang bisa saya simpulkan di grup tersebut. Pertama, penulis dengan “like” banyak dan penulis yang tenggelam. Di sana kualitas sebuah tulisan tak mempengaruhi banyaknya peminat, tulisan yang banyak like diukur sebagai yang paling menarik dan bagus. Beberapa tips menulis yang diberikan oleh beberapa orang terkadang cepat sekali tenggelam dibandingkan sebuah curhatan abal-abal yang mempunyai like banyak. Mereka seolah lupa tagline dari grup tersebut dibuat. Tentunya sebuah grup menulis dibuat untuk ajang berlomba mengasah kemampuan di bidang menulis, bukan ajang curhat.

            Perjuangan berdarah-darah menembus media seperti para penulis muda, Ken Hanggara, Wahyu Wibowo dan Seto Permada atau Muhammad Walid Khakim tentunya tak perlu mereka lakukan karena dogma tersebut. Ken Hanggara mengalami fase penantian hampir dua tahun untuk membuat cerpennya diterima media. Lebih dari 200 cerpennya tak ada kabar bahkan mengalami penolakan. Tak mudah baginya menggenggam gelar Unsa Ambassador 2015 dan menjadi juara kedua Asian Young Writer. Sama halnya dengan Wahyu Wibowo, mahasiswa yang sedang menunggu awal kuliah S2nya ini tidak hanya aktif menulis esai dan puisi di media. Wahyu yang sedang menggeluti dunia penjualan buku ini, mengaku bahwa menulis bukan hanya perkara bersaing, tetapi juga lebih dari menyampaikan pesan dari tulisan tersebut.

            Sementara Dogma bahwa penulis kurang berkembang di desa didobrak oleh Seto Permada. Seperti yang kita ketahui, bahwa profesi penulis belum cukup popular di desa. Sebab terkadang orang menilai berlama-lama di depan komputer tak akan menghasilkan uang. Maka Muhammad Walid Khakim atau yang lebih dikenal Seto Permada mendobrak dogma tersebut dengan terus mengirimkan cerpen ke media. Beberapa cerpennya juga sempat menghiasi media dengan perjuangan berat. Walau tak jarang hampir 25 cerpen ditulisnya dalam sebulan hanya satu yang berjodoh di media.

            Salah satu pengujian sebuah tulisan bisa juga dilakukan dengan mengirimkannya ke media cetak seperti koran, baik lokal maupun nasional. Tidak bisa dipungkiri bahwa persaingan di media sangatlah ketat, tidak semudah mendapat like di media sosial. Dalam sebuah diskusi di Taman Fiksi, menanggapi pertanyaan betapa ketatnya persaingan di media, Mas Gunawan Tri Atmodjo atau akrab disingkat GTA mengungkapkan bahwa “Menulis itu sudah dengan sendirinya laku yang optimis. Maka sangat perlu menulis untuk menyenangkan diri sendiri. Saya mempraktikan itu. Jika saya terhibur dengan apa yang saya tulis maka tak jadi masalah jika tulisan tak dimuat. Menulis itu piknik yang menyenangkan, jangan sampai member tekanan,” ungkap penulis buku Sundari Keranjingan Puisi tersebut.

            Sebuah karya membutuhkan pengakuan lewat sebuah pengujian. Salah satu bentuk pengujian tersebut adalah melewati media, maupun orang-orang yang kompeten di bidangnya. Saya sependapat dengan pendapat Adam Yudhistira yang mengungkapkan “Tidak salah jika seseorang merasa bahagia dengan karya tulisnya mendapat banyak like dan komentar. Terlepas dari tindakan tersebut adalah murni bentuk apresiatif terhadap karya tulis. Atau hanya sebuah tindakan untuk mendapat imbal balik (missal: jika si pemberi like dan komentar membuat postingan karya tulis, ia berharap mendapat like dan jempol juga), yang salah adalah menganggap benar bahwa asumsi karya tulis yang mendapat like dan komentar terbanyak adalah sebuah karya yang bagus. Jelas ini pendapat dangkal dan ecek-ecek. Apalagi jika ditambah: tidak semua karya tulis harus dibuktikan dengan menembus media. Cupak  sekali!. Semua karya, saya perjelas, semua karya harus melalui pengujian untuk membuktikan bahwa kualitasnya bagus. Pengujian ini wajib dan mutlak hukumnya dilakukan oleh orang-orang kredibel, dan memang berpengalaman di bidangnya dan diakui. Siapa mereka? Pikirkan saja sendiri,” jelas Bang Adam Yudhistira.

            Jelas sebuah dogma like menjadi sesuatu yang miris jika dibiarkan. Para penulis di grup tersebut, termasuk penganut dogma ini akan berlomba-lomba mendapatkan like  untuk tulisannya, bukan belajar memperbaiki apa yang ditulisnya, maupun berusaha menguji karyanya lewat tangan-tangan yang kompeten. Jika dogma tersebut telah menjadi doktrin, maka bagi mereka tak ada yang lebih membanggakan selain mendapat like sebanyak-banyaknya. Lebih parahnya mereka akan mendewakan tulisannya sendiri dan merasa yang terbaik. Penulis yang enggan belajar sama saja seperti penulis yang membunuh karyanya pelan-pelan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Novel: Belahan Jiwa, Saat Dia Selalu Bersamamu, Cinta itu Telah Hadir

Jangan dibuka trailer di atas kalau gak mau kayak aku, langsung lari ke Indomaret buat ngambil novel Belahan Jiwa karya Nuniek KR ini :). Sumpah dendam banget sama yang buat trailer, maksudnya apa coba, bikin trailer yang bisa bikin nangis dari detik pertamanya di play (Pas iklannya, Plak). Tapi beneran aku sempat menitikkan air mata waktu liat trailer ini. Ciyus. Buat Bang Roll, hebat banget bisa bikin trailer keren kayak gini. Kamu utang 1 tetes air mataku, Bang. Hiks T_T

Nila Asam Manis Pedas Ala Warung Mbak Diah Pedan

Menikmati weekend dengan makan di tempat yang rindang, sejuk dengan panorama khas pedesaan memang jadi dambaan semua orang. Seperti yang saya lakukan dengan teman-teman saya beberapa waktu yang lalu. Mencari makanan enak di kota kami, Klaten memang tidak cukup sulit. Hanya saja kadang untuk mencari lokasinya sedikit sulit, tapi untungnya sekarang ada aplikasi Opensnap jadi gak perlu repot buat cari lokasi tempat makan favorit. Hm ... Mandanginnya ampe segitunya :)

10 Menu Makanan yang Wajib Banget Kamu Cicipin Kalau Berkunjung Ke Coconuts Resto

Solo emang surganya kuliner, gak jarang kalau pas ke solo pasti aku menyempatkan waktu untuk sekadar jalan-jalan atau sekadar mencicipi wisata kuliner di kota yang memiliki julukan Spirit Of  Java.  Beberapa minggu yang lalu aku sempat ke Solo untuk mengunjungi kakakku. Selagi di Solo, maka gak afdhol kalau gak jalan-jalan atau wisata kulineran. Aku pun mengajak seorang teman untuk jalan bareng, kebetulan dia orang solo dan tahu solo banget.  Namanya Mbak Ana. Aku pun janjian dengan Mbak Ana untuk wisata kulineran bareng. Kami janjian di Hartono Mall Solo baru, karena tempat itu yang paling dekat dengan rumah kakakku. Aku pun segera bersiap dan berangkat ke Hartono Mall. Enggak butuh waktu lama. 10 menit aja nyampe, setelah parkir mobil aku pun menunggu di area VIP parking agar mbak Ana lebih mudah menemukanku.