Bagaimana menjadi
seorang kartini di desa orang lain? Wah … kok bisa? Ini pengalaman saya pas
hari Sabtu kemarin. H-1 Kampus Fiksi Emas. Gak kebayang kan kamu ikutan acara
Kartinian bukan di desamu? Tapi seru-seru banget, karena yang namanya Kartini
kan gak kenal tempat, mau di daerah sendiri, di desa sendiri, di negara sendiri
maupun di negara orang lain tetap saja Kartini Indonesia tetap memiliki jiwa
cinta tanah air.
Sebelum berangkat ke
Prambanan, ke rumahnya Annisa Siwi, saya sempat rebutan motor sama bapak.
Bingung juga sebenarnya. Saya dan bapak pernah tukeran motor, bapak yang minta,
giliran motornya dipake dan rusak saya yang disalahin. Hadeuh. Terus sempat
bingung karena saya harus ke Prambanan sore dan Bapak baru pulang sekitar jam
5. Akhirnya mau tak mau bapak pinjem motornya tante. Saya tersenyum lega, ah …
rencana kampus fiksi saya gak terancam gagal.
Tiba di rumah Siwi jam
4 an, jalanan agak macet, tapi gak macet-macet amat. Sampai di rumahnya saya disambut
keluarganya yang hangat, selalu begitu. Biasanya kalau ada acara di Jogja dan
acaranya pagi atau pulangnya malam, saya menginap di rumahnya Siwi. Pasalnya
kalau berangkat dari rumah paginya, bisa kejebak tilang. Iya … Cuma itu yang
medeni, kejebak tilang.
“Mbak … titip salam
buat temen saya besok di Kampus Fiksi ya.”
“Mbak besok fotoin Om
Seno ya.”
“Mbak, besok fotoin mas
Faisal Oddang ya.”
“Mbak fotoin saya candi
prambanan di kasih nama saya gitu.”
Tunggu! Diantara yang
BBM tadi kayak ada yang beda. Kalau yang lainnya udah dari kemarin saya
dititipin banyak salam untuk teman-teman di KF. Tapi, wait …
Saya menscroll BBM
lagi. Oh … permintaan motion Candi Prambanan dari Mbak Neranita yang di
Lebanon. Untungnya pas diajak Siwi buat ambil snack saya bisa mengambil
beberapa gambar buat Mbak Nera, dia girang banget. Katanya dia kangen pulang ke
Indonesia. Pulanglah Hayati kalau kau lelah … Eh.
Senja membawa sebuah
pertemanan yang baru. Rasanya saya bukan tipikal orang yang gak gampang kenal.
Biasanya pas kenal pertama saya pendiem, tapi kalau udah kenal jadi cerewet dan
jahil. Tapi enggak jaim. Saya dikenalin sama temennya Siwi, Mbak Dariska, Mbak
Kiki sama satunya lagi mbak siapa ya? Mereka ini mbak-mbak cantik yang
pakaiannya syar’i. Duh jadi ngiri, masih menyempurnakan diri. Kami pun lalu
sibuk menata snack buat acara nanti malam hingga senja tenggelam.
Panggung kecil tanpa
kemewahan, namun hangat. Setelah bersih-bersih saya dan Siwi kembali ke kos-an
mbak Dariska, tempat buat nata snack tadi. Siwi pakai kebaya. Uniknya acara
Kartian mala mini, pemudanya pakaio Sourjan atau sejenis pakaian adat Jawa,
sementara yang ceweknya pakai kebaya. Ibu-ibunya banyak yang pakai kebaya. Cuma
saya kayak anak nyasar. Gak pakai kebaya sendiri. Tapi tetep cantik kok. Ups.
Acara ini kayak
perpaduan seru dan melankolis. Serunya pas Cerdas Cermat ibu-ibu atau yang
disebut ibu cerdas. LUcu dan heboh banget. Bukan hanya pas ngejawabnya, ada
juga yang saking semangat, panci yang buat bel ampe penyok karena dipukul
terlalu kencang. Lucunya lagi kan awalnya sebagai tanda bel ada yang pakai
lonceng, kemudian diganti pakai yang lain. Ada seorang ibu-ibu yang baru kutahu
itu ibunya Siwi, bawa lonceng ke depan sambil berdiri, terus ngucapin dialog di
Uttaran itu. “Demi Dewa …..” Demi apa
semua peserta dan yang datang ngakak total.
Detik-detik Mellow itu
pas acara penyerahan bunga buat ibu-ibu single parent sebagai tanda penghargaan
atas usaha pantang menyerah mereka. Saya sampai nangis, mendadak teringat ibu
di rumah.
Satu kata buat acara
Kartinian sekaligus HUT Kota Sleman yang ke-100 di desa Klurak Baru, KEREN
BANGET!!!!!
Komentar