Sebelum saya posting cerita ini, ada sedikit cerita tentang esai saya. Saya pernah mendengar bahwa ada seorang teman baik yang tak tega hati untuk mengkritik esai saya. Dia bilang esai saya cethek, kurang pendalaman, teknik nulisnya juga hanya cari data asal tempel. Saya sempat agak down mendengar itu, bukan karena kritiknya, tapi karena dia teman baik saya yang tak berani mengutarakan langsung kepada saya. Kenapa? Sampai akhirnya saya sadar kok, tulisan saya tidak sempurn. Jadi bila ada kritik atau apa, silakan sampaikan langsung pada saya, itu demi kebaikan saya :) Terima kasih.=======================================================================
“Menulis bukan tentang seni
merangkai kata, tetapi seni berpikir, seni memandang dunia.” (M. Aan Mansyur)
“Jadi penulis adalah sebuah kutukan.
Seorang penulis melihat apa yang orang lain tak lihat, dan seorang penulis
berani menulis apa yang orang lain tidak berani menulisnya.” (Seno Gumira
Ajidarma)
Menulis tidak pernah semudah
menggoreskan pena di atas sebuah kertas kosong. Ada seni cara bepikir yang
tertuang dalam sebuah tulisan. Ada sebuah makna dalam sebuah tulisan, semuanya
tidak pernah semudah membalikkan telapak tangan.
Berbicara tentang sastra, siapa yang
tak mengenal Om Seno Gumira Ajidarma. Dalam suatu kesempatan sesi acara Kampus
Fiksi Emas 2016, beliau dan kedua penulis muda Faisal Oddang dan M. Aan Mansyur
memberikan materi tentang Buku, Karya
Literasi dan Indonesia. Sesi sharing dibuka oleh M. Aan Mansyur, kemudian
Faisal Oddang, lalu Om Seno Gumira Ajidarma.
Seperti yang saya kutip di atas,
menulis bukan hanya seni merangkai kata, begitu kata M. Aan Mansyur. Bukan
tentang seni merangkai huruf-huruf menjadi sebuah kalimat. Tentunya, menulis
bukan hanya sekadar tulisan yang terdiri dari huruf-huruf yang berjajar.
Penulis buku Tidak Ada New York Hari Ini, yang puisinya menjadi puisi-puisi
Rangga di film “Ada Apa dengan CInta 2?” ini menyampaikan materi dengan santai
dan gayanya yang ramah. Dibuka dengan menerima 5 pertanyaan dari peserta, sesi
sharing selanjutnya lebih banyak bercerita tentang masa-masa M. Aan Mansyur
mengenal dunia literasi.
Tidak seperti sekarang, semasa kecil M. Aan Mansyur adalah pribadi yang takut berinteraksi dengan manusia. Salah satu cara yang dia lakukan untuk mengisi kekosongan adalah dengan menulis, dia bahkan pernah menulis surat untuk keluarganya yang tinggal serumah. Kegemarannya membaca buku sudah telihat sejak kecil. Meskipun di masa kecilnya, untuk mendapatkan sebuah buku teramat sangat sulit.
Hal
ini juga dialami oleh Faisal Oddang, penulis novel Puya Ke Puya ini mengaku, “Saya tinggal di daerah yang bahkan
satu-satunya yang ada adalah buku-buku stensilan. Buku-buku yang halamannya
penuh dengan lipatan.” Begitulah masa-masa tak mudah Faisal Oddang ketika
bercerita tentang perjuangan mendapatkan sebuah buku. Pemuda yang tidak lepas
dari pohon, katanya, memang tumbuh di lingkungan yang penuh dengan lokalitas
budaya. Cerpen dan novelnya banyak pula yang berhubungan dengan pohon, bahkan
yang tokohnya pohon, seperti novel Puya Ke Puya. Tumbuh di daerah yang kental
lokalitas budaya Faisal Oddang tak pernah bisa lepas dari daerahnya. Tak heran
bila tokoh-tokoh dalam cerpen dan novelnya mempunyai karakter yang kuat dan lokalitas daerahnya
yang kental.
Beralih ke tiga Mitos Sastra yang harus dihancurkan oleh seorang penulis. Om Seno Gumira Ajidarma menyampaikan 3 mitos sastra yang harus bisa dihancurkan oleh seorang penulis. Ketiga mitos itu adalah sastra itu cengeng, sastra itu bahasanya mendayu-dayu, sastra itu berisi petuah. Jika seorang penulis tak mampu keluar dari ketiga mitos tersebut, maka sastra hanyalah sebuah omong kosong, dan tentunya sastra tak mampu bicara jika ketiga mitos tersebut masih berada dalam diri seorang penulis.
Om Seno juga menegaskan, penulis yang baik dulunya adalah seorang pembaca yang lahap. Menulis dan membaca adalah dua sisi mata uang yang tak pernah bisa terpisahkan. Oleh karena itu seorang penulis harus gemar membaca. “Penulis yang yang tidak mau membaca lebih baik berhenti menjadi penulis,” tutur penulis buku Sepotong Senja Untuk Pacarku tersebut. Menulis erat kaitannya dengan membaca, sebab dari membaca seorang penulis mendapat banyak asupan gizi untuk tulisannya. Seperti halnya manusia, tidak hanya butuh bernapas, dia juga butuh untuk makan, dan dari makanlah energi untuk hidup didapatkan.
Menjadi penulis adalah sebuah
kutukan, mengutip kalimat dari Om Seno tersebut, memang benar apa yang
disampaikan oleh beliau. Seorang penulis seakan mampu melihat sisi apa yang
orang lain tak lihat. Segala hal di dunia ini dapat diubah menjadi sebuah
tulisan, sebuah cerita. Jika orang lain, dalam hal ini yang bukan penulis, melihat suatu hal , cara pandangnya akan
berbeda dengan seorang penulis. Hal-hal yang terkadang tidak disadari oleh orang
lain, bisa menjadi sebuah ide cerita bagi penulis. Itulah sebabnya kenapa jadi
penulis itu seperti sebuah kutukan, kutukan menjadi keren tentunya, dan kutukan
untuk peka terhadap sesuatu.
Menulis juga tak ubahnya sebuah
jurang. Jalan yang dipilihnya untuk menyeberangi jurang, tentu akan menjadi
pilihan bagaimana hidupnya berjalan. Ada dua kemungkinan yang terjadi saat
seseorang itu menulis, seperti yang dikatakan M. Aan Mansyur, “Ada dua kemungkinan yang terjadi saat
seseorang menulis, dia sedang mendokumentasikan kecerdasannya atau
kebodohannya.” Dalam hal ini semuanya kembali lagi pada diri seorang
penulis. Semua pilihan berada di dalamnya. Bak ada jalan yang terang dan jurang
yang dalam yang menanti seorang penulis. Jadi masihkah engkau ingin menjadi
penulis?
Komentar