Langsung ke konten utama

Mitos Sastra dan Kutukan Seorang Penulis (Dimuat di Radar Mojokerto, Jawa Pos Group 15 Mei 2016)


Sebelum saya posting cerita ini, ada sedikit cerita tentang esai saya. Saya pernah mendengar bahwa ada seorang teman baik yang tak tega hati untuk mengkritik esai saya. Dia bilang esai saya cethek, kurang pendalaman, teknik nulisnya juga hanya cari data asal tempel. Saya sempat agak down mendengar itu, bukan karena kritiknya, tapi karena dia teman baik saya yang tak berani mengutarakan langsung kepada saya. Kenapa? Sampai akhirnya saya sadar kok, tulisan saya tidak sempurn. Jadi bila ada kritik atau apa, silakan sampaikan langsung pada saya, itu demi kebaikan saya :) Terima kasih.
=======================================================================

“Menulis bukan tentang seni merangkai kata, tetapi seni berpikir, seni memandang dunia.” (M. Aan Mansyur)

“Jadi penulis adalah sebuah kutukan. Seorang penulis melihat apa yang orang lain tak lihat, dan seorang penulis berani menulis apa yang orang lain tidak berani menulisnya.” (Seno Gumira Ajidarma)

“Kita punya cara masing-masing dan jalan masing-masing untuk menulis. Tidak setiap cara yang penulis terapkan, bisa cocok jika diterapkan untuk orang lain.” (Faisal Oddang)
 
            Menulis tidak pernah semudah menggoreskan pena di atas sebuah kertas kosong. Ada seni cara bepikir yang tertuang dalam sebuah tulisan. Ada sebuah makna dalam sebuah tulisan, semuanya tidak pernah semudah membalikkan telapak tangan.

Berbicara tentang sastra, siapa yang tak mengenal Om Seno Gumira Ajidarma. Dalam suatu kesempatan sesi acara Kampus Fiksi Emas 2016, beliau dan kedua penulis muda Faisal Oddang dan M. Aan Mansyur  memberikan materi tentang Buku, Karya Literasi dan Indonesia. Sesi sharing dibuka oleh M. Aan Mansyur, kemudian Faisal Oddang, lalu Om Seno Gumira Ajidarma.
 
Seperti yang saya kutip di atas, menulis bukan hanya seni merangkai kata, begitu kata M. Aan Mansyur. Bukan tentang seni merangkai huruf-huruf menjadi sebuah kalimat. Tentunya, menulis bukan hanya sekadar tulisan yang terdiri dari huruf-huruf yang berjajar. Penulis buku Tidak Ada New York Hari Ini, yang puisinya menjadi puisi-puisi Rangga di film “Ada Apa dengan CInta 2?” ini menyampaikan materi dengan santai dan gayanya yang ramah. Dibuka dengan menerima 5 pertanyaan dari peserta, sesi sharing selanjutnya lebih banyak bercerita tentang masa-masa M. Aan Mansyur mengenal dunia literasi.


 Tidak seperti sekarang, semasa kecil M. Aan Mansyur adalah pribadi yang takut berinteraksi dengan manusia. Salah satu cara yang dia lakukan untuk mengisi kekosongan adalah dengan menulis, dia bahkan pernah menulis surat untuk keluarganya yang tinggal serumah. Kegemarannya membaca buku sudah telihat sejak kecil. Meskipun di masa kecilnya, untuk mendapatkan sebuah buku  teramat sangat sulit.

 Hal ini juga dialami oleh Faisal Oddang, penulis novel Puya Ke Puya ini mengaku, “Saya tinggal di daerah yang bahkan satu-satunya yang ada adalah buku-buku stensilan. Buku-buku yang halamannya penuh dengan lipatan.” Begitulah masa-masa tak mudah Faisal Oddang ketika bercerita tentang perjuangan mendapatkan sebuah buku. Pemuda yang tidak lepas dari pohon, katanya, memang tumbuh di lingkungan yang penuh dengan lokalitas budaya. Cerpen dan novelnya banyak pula yang berhubungan dengan pohon, bahkan yang tokohnya pohon, seperti novel Puya Ke Puya. Tumbuh di daerah yang kental lokalitas budaya Faisal Oddang tak pernah bisa lepas dari daerahnya. Tak heran bila tokoh-tokoh dalam cerpen dan novelnya mempunyai  karakter yang kuat dan lokalitas daerahnya yang kental.


 Beralih ke tiga Mitos Sastra yang harus dihancurkan oleh seorang penulis. Om Seno Gumira Ajidarma menyampaikan 3 mitos sastra yang harus bisa dihancurkan oleh seorang penulis. Ketiga mitos itu adalah sastra itu cengeng, sastra itu bahasanya mendayu-dayu, sastra itu berisi petuah. Jika seorang penulis tak mampu keluar dari ketiga mitos tersebut, maka sastra hanyalah sebuah omong kosong, dan tentunya sastra tak mampu bicara jika ketiga mitos tersebut masih berada dalam diri seorang penulis.


 Om Seno juga menegaskan, penulis yang baik dulunya adalah seorang pembaca yang lahap. Menulis dan membaca adalah dua sisi mata uang yang tak pernah bisa terpisahkan. Oleh karena itu seorang penulis harus gemar membaca. “Penulis yang yang tidak mau membaca lebih baik berhenti menjadi penulis,”  tutur penulis buku Sepotong Senja Untuk Pacarku tersebut. Menulis erat kaitannya dengan membaca, sebab dari membaca seorang penulis mendapat banyak asupan gizi untuk tulisannya. Seperti halnya manusia, tidak hanya butuh bernapas, dia juga butuh untuk makan, dan dari makanlah energi untuk hidup didapatkan.
          

Menjadi penulis adalah sebuah kutukan, mengutip kalimat dari Om Seno tersebut, memang benar apa yang disampaikan oleh beliau. Seorang penulis seakan mampu melihat sisi apa yang orang lain tak lihat. Segala hal di dunia ini dapat diubah menjadi sebuah tulisan, sebuah cerita. Jika orang lain, dalam hal ini yang bukan penulis,  melihat suatu hal , cara pandangnya akan berbeda dengan seorang penulis. Hal-hal yang terkadang tidak disadari oleh orang lain, bisa menjadi sebuah ide cerita bagi penulis. Itulah sebabnya kenapa jadi penulis itu seperti sebuah kutukan, kutukan menjadi keren tentunya, dan kutukan untuk peka terhadap sesuatu.


Menulis juga tak ubahnya sebuah jurang. Jalan yang dipilihnya untuk menyeberangi jurang, tentu akan menjadi pilihan bagaimana hidupnya berjalan. Ada dua kemungkinan yang terjadi saat seseorang itu menulis, seperti yang dikatakan M. Aan Mansyur, “Ada dua kemungkinan yang terjadi saat seseorang menulis, dia sedang mendokumentasikan kecerdasannya atau kebodohannya.” Dalam hal ini semuanya kembali lagi pada diri seorang penulis. Semua pilihan berada di dalamnya. Bak ada jalan yang terang dan jurang yang dalam yang menanti seorang penulis. Jadi masihkah engkau ingin menjadi penulis?



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Novel: Belahan Jiwa, Saat Dia Selalu Bersamamu, Cinta itu Telah Hadir

Jangan dibuka trailer di atas kalau gak mau kayak aku, langsung lari ke Indomaret buat ngambil novel Belahan Jiwa karya Nuniek KR ini :). Sumpah dendam banget sama yang buat trailer, maksudnya apa coba, bikin trailer yang bisa bikin nangis dari detik pertamanya di play (Pas iklannya, Plak). Tapi beneran aku sempat menitikkan air mata waktu liat trailer ini. Ciyus. Buat Bang Roll, hebat banget bisa bikin trailer keren kayak gini. Kamu utang 1 tetes air mataku, Bang. Hiks T_T

Nila Asam Manis Pedas Ala Warung Mbak Diah Pedan

Menikmati weekend dengan makan di tempat yang rindang, sejuk dengan panorama khas pedesaan memang jadi dambaan semua orang. Seperti yang saya lakukan dengan teman-teman saya beberapa waktu yang lalu. Mencari makanan enak di kota kami, Klaten memang tidak cukup sulit. Hanya saja kadang untuk mencari lokasinya sedikit sulit, tapi untungnya sekarang ada aplikasi Opensnap jadi gak perlu repot buat cari lokasi tempat makan favorit. Hm ... Mandanginnya ampe segitunya :)

10 Menu Makanan yang Wajib Banget Kamu Cicipin Kalau Berkunjung Ke Coconuts Resto

Solo emang surganya kuliner, gak jarang kalau pas ke solo pasti aku menyempatkan waktu untuk sekadar jalan-jalan atau sekadar mencicipi wisata kuliner di kota yang memiliki julukan Spirit Of  Java.  Beberapa minggu yang lalu aku sempat ke Solo untuk mengunjungi kakakku. Selagi di Solo, maka gak afdhol kalau gak jalan-jalan atau wisata kulineran. Aku pun mengajak seorang teman untuk jalan bareng, kebetulan dia orang solo dan tahu solo banget.  Namanya Mbak Ana. Aku pun janjian dengan Mbak Ana untuk wisata kulineran bareng. Kami janjian di Hartono Mall Solo baru, karena tempat itu yang paling dekat dengan rumah kakakku. Aku pun segera bersiap dan berangkat ke Hartono Mall. Enggak butuh waktu lama. 10 menit aja nyampe, setelah parkir mobil aku pun menunggu di area VIP parking agar mbak Ana lebih mudah menemukanku.