Langsung ke konten utama

Hukuman apa yang pantas untuk seorang plagiator? (Dimuat di Radar Mojokerto, 7 Agustus 2016)

Hukuman apa yang pantas untuk seorang plagiator? Pertanyaan ini mengusik benak saya, setelah kasus plagiasi terjadi lagi di ranah dunia literasi baru-baru ini. Tampaknya hukum sosial yang selama ini diterapkan tak jua membuat para oknum-oknum pencuri hasil kreativitas orang lain menjadi jera. Hal ini terbukti dari kasus yang menimpa Nanda Dyani Amilia. Sungguh sangat disayangkan, Nanda termasuk salah satu penulis muda yang cukup diakui publik kemampuannya, pernah memenangi beberapa event tapi kini tengah terjerat kasus plagiasi. Tindakannya itu cukup mencoreng namanya di mata publik.


Cerpen Nanda berjudul Black Hole yang dimuat di salah satu surat kabar 23 Juli yang lalu ternyata merupakan saduran dari cerpen cerpen Renny Chrisnawaty berjudul AL yang pernah dimuat di majalah Story edisi September 2011. Bahkan tidak hanya pembukaan, dialog, alurnya pun bisa dibilang sama persis. Kasus ini mencuat ketika Reni TerataiAir mengunggah bukti-bukti plagiasi Nanda di akun facebook pribadinya. Tak berapa lama kasus ini menjadi perbincangan publik, banyak yang mengecam tindakan Nanda, namun tidak sedikit yang membelanya sebagai suatu pemakluman kesalahan.

Belum juga rampung kasus Black Hole, publik kembali dikejutkan dengan salah satu cerpen Nanda berjudul Cerita Sebuah Kertas dan Makhluk Gaib yang pernah dimuat di salah satu surat kabar dan juga hasil plagiat dari cerpen Anton Pramono dengan judul Saint Vision. Seperti ungkapan “Sekali melakukan plagiasi karya lainnya pantas di curigai”, karya-karya plagiasi Nanda muncul ke permukaan. Dua puisinya yang bejudul Mimpiku Kehujanan dan Perempuan Kalis Peluru juga menambah daftar panjang kasus Nanda.

Nanda sendiri tidak menyangkal bahwa dia melakukan plagiasi. Bahkan dia sudah memulai tindakan plagiarismenya sejak beberapa tahun yang lalu. Sempat beberapa kasusnya terungkap, namun seperti tertelan air, dia meminta maaf lalu kembali melakukannya lagi. Di kasus ini pun sama Nanda sempat meminta maaf ke publik, namun sayangnya permintaan maaf yang disampaikannya melalui akun facebook pribadinya itu hanya bertahan beberapa jam saja. Kasus Nanda sempat menjadi pro dan kontra dan memicu perdebatan publik. Banyak pegiat sastra mengecam keras tindakannya, namun seperti dua sisi yang berseberangan, ada pula yang bersimpati dan membela Nanda. Dengan alasan bahwa dia masih muda, mungkin saja hanya khilaf dan lain sebagainya, dan sebuah kesalutan karena Nanda berani meminta maaf ke publik, walau hanya bertahan beberapa jam. Jika hanya sekali memplagiat mungkin masih bisa dibilang khilaf. Namun jika berkali-kali, apakah itu juga termasuk kekhilafan yang termaafkan?

Kasus plagiasi di negeri ini seringnya menjadi euforia sesaat. Ramai diperbincangkan namun tak jua memiliki penyelesaian. Terlebih ketika media-media juga terkesan tak mau memperpanjang masalah plagiasi jika menyangkut salah satu nama penulis besar di negeri ini. Contohnya saja kasus Guntur Alam beberapa waktu yang lalu yang sempat muncul ke publik. Siapa yang tidak mengenal Guntur Alam? Cerpen-cerpennya sudah melalang buana, dan tentunya dia memiliki nama besar. Gugatan Sian Hwa yang terhadap salah satu cerpennya yang berjudul Lilin Merah di Meja di Belakang Meja Mahyong seolah melempem ketika dilempar ke media. Bahkan kelanjutan kasus ini juga tidak terdengar bagaimana kabarnya. Mungkin benar pepatah hukum itu tajam ke bawah tumpul ke atas itu benar. Dan kredibilitas media yang independen juga cukup dipertanyakan.

Bercermin dari kedua kasus plagiasi tersebut, sungguh sangat disayangkan jika kasus-kasus serupa terus terjadi di dunia literasi negeri ini. Mau jadi apa dunia literasi kita? Bahkan di tengah minimnya minat baca masyarakat Indonesia, publik masih harus menerima kebohongan karya yang tidak orisinil, sungguh sangat disayangkan. Terlebih jika cerpen-cerpen yang sudah masuk ke media dan menjadi barometer bagi para pecinta sastra ternyata merupakan hasil dari saduran milik orang lain.

Dalam kasus plagiasi, motif ketidaksabaran untuk menempuh jalur sastra yang tidak mudah menjadi salah satu faktor utama. Terbukti dari para plagiator yang tidak mau memeras kepalanya lebih keras. Atau mereka yang kehilangan kreativitas sehingga berpikir cupet dan mengambil karya orang lain dengan beberapa metode, entah itu tambal sulam, maupun mutilasi.

Mirisnya, pelakunya bukan hanya dari kalangan pemula, bahkan dari kalangan senior pun juga ada. Plagiarisme seolah menjadi penyakit baru yang meresahkan pecinta sastra. Bahkan penyakit ini sudah mencapai stadium akhir, karena para pelakunya memiliki kecenderungan ketagihan melakukan tindakan plagiasi kembali. Bahwasanya perlu satu hukuman yang pasti untuk para plagiator, tidak hanya hukum yang bisa membuat para pelaku plagiator jera, namun juga berpikir beribu-ribu kali untuk melakukan tindakan plagiarisme. Jadi, hukuman apa yang pantas untuk para plagiator? Jawabannya saya kembalikan kepada para pembaca sekalian. Salam literasi.

Catatan: Tulisan ini dibuat bukan atas dasar untuk menjatuhkan nama seseorang, tidak ada satu maksud pun untuk menjatuhkan nama penulis yang ada di dalamnya.

Endang Indri Astuti, menulis novel, puisi, cerpen, esai dan artikel. Beberapa puisi, esai dan artikelnya pernah dimuat di beberapa media baik online maupun cetak. Lahir di Klaten dan menggemari membaca di waktu yang hening. Facebook: Endang Indri Astuti, Blog: indriaworld.blogspot.com





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Novel: Belahan Jiwa, Saat Dia Selalu Bersamamu, Cinta itu Telah Hadir

Jangan dibuka trailer di atas kalau gak mau kayak aku, langsung lari ke Indomaret buat ngambil novel Belahan Jiwa karya Nuniek KR ini :). Sumpah dendam banget sama yang buat trailer, maksudnya apa coba, bikin trailer yang bisa bikin nangis dari detik pertamanya di play (Pas iklannya, Plak). Tapi beneran aku sempat menitikkan air mata waktu liat trailer ini. Ciyus. Buat Bang Roll, hebat banget bisa bikin trailer keren kayak gini. Kamu utang 1 tetes air mataku, Bang. Hiks T_T

Nila Asam Manis Pedas Ala Warung Mbak Diah Pedan

Menikmati weekend dengan makan di tempat yang rindang, sejuk dengan panorama khas pedesaan memang jadi dambaan semua orang. Seperti yang saya lakukan dengan teman-teman saya beberapa waktu yang lalu. Mencari makanan enak di kota kami, Klaten memang tidak cukup sulit. Hanya saja kadang untuk mencari lokasinya sedikit sulit, tapi untungnya sekarang ada aplikasi Opensnap jadi gak perlu repot buat cari lokasi tempat makan favorit. Hm ... Mandanginnya ampe segitunya :)

10 Menu Makanan yang Wajib Banget Kamu Cicipin Kalau Berkunjung Ke Coconuts Resto

Solo emang surganya kuliner, gak jarang kalau pas ke solo pasti aku menyempatkan waktu untuk sekadar jalan-jalan atau sekadar mencicipi wisata kuliner di kota yang memiliki julukan Spirit Of  Java.  Beberapa minggu yang lalu aku sempat ke Solo untuk mengunjungi kakakku. Selagi di Solo, maka gak afdhol kalau gak jalan-jalan atau wisata kulineran. Aku pun mengajak seorang teman untuk jalan bareng, kebetulan dia orang solo dan tahu solo banget.  Namanya Mbak Ana. Aku pun janjian dengan Mbak Ana untuk wisata kulineran bareng. Kami janjian di Hartono Mall Solo baru, karena tempat itu yang paling dekat dengan rumah kakakku. Aku pun segera bersiap dan berangkat ke Hartono Mall. Enggak butuh waktu lama. 10 menit aja nyampe, setelah parkir mobil aku pun menunggu di area VIP parking agar mbak Ana lebih mudah menemukanku.