Aku
terbangun dini hari. Kurasakan seseorang menarik-narik kerah bajuku. Tapi ketika aku menoleh, Ragiel tengah
tertidur pulas menghadap arah yang berlawanan. Firasatku tidak enak. Sejak
pertama masuk ke rumah ini, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ragiel
satu-satunya teman laki-laki yang kukenal di Jogja. Sebenarnya temanku banyak,
namun aku hanya dekat pada Ragiel saja. Sebulan yang lalu aku menyampaikan pada
Ragiel dan beberapa temanku bahwa aku akan ke Jogja. Tujuan utamaku adalah mengambil
honor di salah satu koran sekalian jalan-jalan. Beberapa teman menawariku
tempat tinggal selama aku berada di Jogja. Namun, aku lebih memilih tinggal
bersama Ragiel untuk beberapa hari ke depan. Sepertinya, sekarang aku sedikit menyesali keputusanku
menerima tawaran Ragiel.
Jam
tujuh malam, Ragiel menjemputku di Giwangan. Ini pertemuan pertama kami,
setelah berjabat tangan dan berbincang, kami pun menuju ke kos-an Ragiel. Ragiel menyebutnya kos, walau pun setelah sampai dia
tinggal di sebuah rumah milik bosnya. Sebelumnya kami sempat
tersesat, Ragiel sempat lupa arah yang benar dari Giwangan sampai Jalan
Kaliurang. Beruntung aku memakai GPS, jadi aku bisa mengatasi keadaan dengan
cepat.
Rumah
tua itu bercat cokelat, dengan catnya yang memudar dan sedikit mengelupas.
Bangunannya berbentuk rumah joglo dengan pendapa dan beberapa sekat rumah yang
berbentuk pintu-pintu khas Jawa. Angin kecil berhembus menerpa wajahku, seolah
menyambut kedatanganku.
Hawa berubah menjadi dingin, lalu kemudian berganti dengan hawa panas yang
entah dari mana.
"Duduk
dulu, Bro, aku ambilkan minum sebentar," gumam Ragiel mempersilakanku
duduk.
Aku
duduk di sebuah kursi anyaman yang terbuat dari bambu. Ruang tamu di rumah ini
tidak begitu luas, namun cukup untuk ditempati lima sampai sepuluh orang.
Seorang bapak setengah baya keluar dari sebuah pintu yang membatasi ruang tamu
dengan ruang sebelahnya.
"Temennya
Ragiel ya?" Tanyanya padaku, aku mengangguk lalu berdiri dan menjabat tangannya.
"Rangga,
Pak," gumamku memperkenalkan diri.
Ragiel
datang dengan membawa secangkir teh untukku. Ia kemudian masuk dan kembali
dengan sepiring singkong goreng dan menyuguhkannya padaku.
"Ini
bosku, Bro, Pak Ahmad. Dia yang punya rumah ini. Sekaligus warung tempatku
bekerja," Ragiel memperkenalkan Pak Ahmad padaku. Aku tersenyum tipis
sambil mengangguk.
"Anggap
saja rumah sendiri, Le. Oh ya Bapak mau tidur dulu, kalian ngobrol saja, bapak
duluan ya," pamit Pak Ahmad. Aku dan Ragiel mengiyakan, lalu Pak Ahmad
masuk ke kamar yang terletak di sudut ruangan.
Aku
dan Ragiel berbincang-bincang sebentar. Ragiel banyak bercerita padaku tentang
Jogja. Pemuda asal Purwokerto ini
sudah hampil lima tahun tinggal di kota ini. Sempat berpindah-pindah pekerjaan,
hingga akhirnya menjadi karyawan Pak Ahmad dan bekerja di warung Soto tenda
miliknya.
"Besok
mau ke mana, Bro?" Tanya Ragiel sambil mencomot singkong goreng dan
menggigitnya pelan.
"Ke
Malioboro paling, Indri ngajak ketemuan di sana."
Indri
itu temanku, lebih tepatnya teman yang sering kubully di facebook. Sebenarnya
bukan membully, lebih tepatnya hanya bercanda. Gadis itu baperan, sensitif dan
terkadang alay juga, tapi yang kusuka darinya adalah sifatnya yang apa adanya,
walau kadang suka membicarakanku di belakang, tapi tak apa.
"Aku
enggak bisa nganter, gak papa?"
Ragiel
kerja dari pukul empat sampai dua belas. Tiap jam satu sampai jam empat sore
adalah waktu istirahat baginya. Setelah itu dua jam selanjutnya dia membantu
Pak Ahmad meracik bumbu di rumahnya
"Nggak
papa. Aku bisa naik Gojek atau berjalan kaki. Sesekali ingin menikmati suasana
Jogja."
Ragiel
mengangguk lalu pembicaraan kami mengalir ke hal-hal lain hingga rasa kantuk
menghampiri kami. Aku memutuskan untuk mandi karena badanku lengket sekali.
Hampir delapan jam menempuh perjalanan dari Surabaya ke Jogja tentunya membuat
tubuhku gerah. Ragiel menunjukkan kamar mandi yang letaknya berada di samping
dapur. Di sebelahnya ada sumur tua. Sepertinya tidak terpakai lagi karena bagian
atasnya tertutup dengan
anyaman dari bambu.
Kututup
pintu kamar mandi dan mulai melepaskan satu per satu yang kukenakan. Aku segera
mengguyur tubuhku dengan air. Tidak baik mandi malam-malam, kata Sandra
pacarku, dan aku ingin segera mengakhiri ritual mandiku.
Aku
hampir selesai hanya tinggal memakai kaosku, ketika kurasakan jemari-jemari
lembut menyentuh bahuku. Lalu turun ke dada dan perutku. Aku terkejut dan
berpikir yang tidak-tidak, bisa jadi Ragiel yang melakukannya. Namun anggapanku
itu pun terpatahkan saat kuberanikan diriku menoleh ke belakang dan tak ada
satu pun yang kutemukan tengah memelukku. Jantungku berdegup kencang dan
darahku berdesir tak karuan. Aku segera keluar dari kamar mandi dan memakai
kaos sambil berjalan. Ragiel
sudah tertidur pulas saat aku masuk ke kamarnya. Aku
masih menerka-nerka siapa yang memelukku saat di kamar mandi? Lalu sebuah
pemikiran muncul di kepalaku. Mungkinkah firasatku sejak awal benar?
Sejak
Ragiel mengajakku masuk ke rumah ini, aku merasa bahwa ada aura lain yang
kurasakan. Jika Orang Jawa bilang rumah ini "Singup". Aku
ingin mengatakannya pada Ragiel, namun kuurungkan, aku takut Ragiel memiliki
rasa takut yang berlebihan. Bisa jadi dia berhenti bekerja hanya gara-gara aku
dan pindah kos hanya karena takut mendengar ceritaku. Bagiku mungkin ini biasa,
tapi bagi Ragiel mungkin tidak. Aku yang terbiasa dengan pandangan berbeda ini
mungkin bisa memandang masalah ini dengan santai, tapi mungkin tidak bagi
Ragiel.
***
Esoknya Ragiel bangun pukul empat.
Aku sudah terjaga hampir tiga jam sejak seseorang menarik-narik bajuku dan membuatku
susah kembali tertidur. Ragiel bangun dan segera mengambil wudhu, aku
membuntuti langkahnya, sengaja mengikutinya ke mana-mana. Aku bukannya takut,
namun ada satu alasan lain yang tidak bisa kujelaskan.
Selesai mandi --- dengan
secepat-cepatnya--- aku bersiap dan menemui Ragiel di ruang tamu. Sepiring
gorengan dan kopi hitam panas sudah tersaji di meja. Ragiel menyapaku sambil
tersenyum.
"Enggak tidur semalam,
Bro?" Tebak Ragiel. Aku menyeruput kopiku dan memainkan hape sambil
mengangguk.
"Jadi kamu beneran enggak
tidur? Terus ngapain aja semalaman?"
"Tidur sebentar, lalu
terbangun. Aku nonton film horor," gumamku. Sudah menjadi kebiasaanku
sebagai penulis horor, aku sering berurusan dengan hantu dan hobi menonton film
horor. Awalnya aku sedikit takut---yang perlu kamu tahu, aku sering mengalami
kejadian-kejadian aneh di rumahku sendiri--- hingga lambat laun aku mulai
terbiasa dengan ulah iseng para hantu.
Aku menghabiskan dua potong tempe
goreng dan dua tahu isi lalu berpamitan pada Ragiel. Jogja mendung pagi ini,
aku memesan gojek dengan tujuan Malioboro. Mama menitipkan beberapa pesanan
oleh-oleh padaku, dan Indri berjanji mengantarku. Hampir setengah jam aku
menyibak jalan Malioboro, untuk menemukan Indri, hingga seorang gadis
berkacamata menyapaku, namanya Vierga, dia adik dari Indri. Aku pernah melihat
fotonya bersama Indri dan juga Novi di facebook jadi dengan mudah aku
mengenalinya.
Kami--- aku, Indri, Vierga, Ririz
dan satu keponakannya yang aku lupa namanya--- berjalan menyusuri jalan Malioboro
hingga nol kilometer. Selanjutnya langkah kami berhenti di taman budaya untuk
sekadar numpang duduk dan bercerita. Ragiel datang tepat pukul dua dan
bergabung dengan kami. Disusul satu temannya yang bernama Redy. Entah siapa
yang memulai, kami bercerita tentang hal-hal yang berbau horor. Lalu
mengalirlah cerita apa yang kualami semalam.
"Aku kira kau yang menarik
bajuku dari belakang. Pas aku nengok kau tidur menghadap arah lain,"
gumamku. Ragiel tersenyum menanggapi ceritaku.
"Mungkin itu hantu yang ngajak
kenalan kali. Memang di sana sering ada kejadian aneh. Pak Ahmad sendiri juga
pernah cerita kalau sejak istrinya meninggal rumahnya berubah menjadi singup,” gumam Ragiel
dengan santai seolah cerita hantu adalah makannya sehari-hari.
"Istrinya Pak Ahmad meninggal
karena sakit. Sakit aneh yang tidak ada sebabnya. Yang kudengar, di tubuh
istrinya muncul bintik-bintik aneh yang menimbulkan bau busuk. Pak Ahmad sudah
membawanya ke dokter, namun tidak ada hasilnya. Hingga istrinya ditemukan tewas
di kamar mandi," cerita Ragiel.
"Apa mungkin yang ngajak aku
kenalan istrinya Pak Ahmad? Maklumlah aku kan ganteng jadi wajar kalau banyak
yang mau ngajak kenalan," candaku sambil tertawa, Ragiel, Indri dan
teman-teman yang lain tertawa.
"Bisa saja kau ini. Dulu pas pertama
kali aku pindah di situ, aku juga sering diganggu, tapi sekarang sudah mulai
terbiasa," ungkap Ragiel.
"Kamu sih sok ganteng, jadi
gitu diajak kenalan hantu," celetuk Indri sambil tertawa. Aku tertawa saja
mendengar ucapannya. Lalu kami melanjutkan banyak cerita lainnya, hingga tiba
saatnya berpamitan. Aku rasa hari ini cukup menyenangkan sekaligus melelahkan.
Hingga di hari kedua aku tidur bersama Ragiel, aku bisa tidur dengan nyenyak,
tentunya aku mengabaikan segala gangguan yang ada.
***
Setelah menyelesaikan urusanku di
Jogja, aku berpamitan pada Ragiel untuk kembali ke Surabaya. Aku tiba di
Surabaya pukul delapan malam. Kurebahkan tubuhku sebentar di kasur sebelum aku
mandi. Setelah sepuluh menit, aku bergegas ke kamar mandi, mengambil handuk dan
melangkahkan kakiku masuk ke dalam.
Seperti biasa, aku menyelesaikan
mandiku dengan cepat dan bergegas untuk tidur. Entah berapa lama aku tertidur,
aku merasa ujung celanaku ditarik-tarik. Aku mengucek mataku ketika seorang
wanita cantik tengah berdiri di ujung kasurku. Wajahnya mulus, putih dan wangi
cendana memenuhi kamarku.
"Aku ingin pulang,"
lirihnya dengan wajah manja. Merajuk.
"Kamu siapa?" Tanyaku
seperti orang linglung. Jelas-jelas dia hantu, tak ada wanita lain di rumah ini selain
Dita, Mama dan Mbok Inem. Jadi bisa kupastikan dia hantu.
"Marni, aku ingin pulang,
antarkan aku," rengeknya padaku. Aku rasa tengah bermimpi, jadi kuabaikan
saja dia. Namun sebelum kepalaku menyentuh bantal dengan benar. Dia
mencengkeram ujung kerah kaosku. Lalu dengan mata yang hampir copot, kulit yang
berubah berwarna hijau, mengeluarkan bau busuk, dia mengancamku, "Antarkan aku atau kau
mati malam ini." Tangannya mencekik leherku dan hampir membuatku kehabisan
napas.
Aku tak ada pilihan lain. Segera
kuambil motor dan membiarkan Marni duduK
di jok belakang, dia menyebutkan satu alamat yang sangat kukenal. Aku menghela
napas, mengenakan helm dan bersiap menelusuri jalanan Surabaya-Jogja yang
lengang. Tak kupedulikan Mama yang berteriak-teriak memanggilku.
Di
tengah jalan Marni minta diturunkan, dia turun begitu saja. Dan aku baru sadar
telah tersesat jauh dari rumah. Di hadapanku hanya hutan dan jalan panjang yang
seperti tak ada ujungnya. Aku tersesat dan kemungkinan tak tahu jalan pulang.
Komentar