"Menulis adalah cara saya menghibur diri sendiri. Seseorang tidak bisa menghibur orang lain jika tidak bisa menghibur dirinya sendiri." (Gunawan Tri Atmodjo).
1. Sastra
dan Humor
Seringkali
kita membaca cerpen di koran dan menemukan banyak cerpen yang berakhir dengan
kesedihan maupun bahagia, namun kita akan jarang menemukan cerpen-cerpen dengan
humor yang mampu memancing tawa, bahkan menghibur para pembacanya. Terlebih
menjadi hiburan akhir pekan bagi para pembacanya. Kejenuhan itu yang dirasakan
oleh Gunawan Tri Atmodjo, penulis buku Sundari Keranjingan Puisi, yang kemudian
memutuskan untuk menyisipkan humor dalam cerpen-cerpennya.
Dalam
sebuah diskusi yang digelar di Balai Sudjatmoko, Gunawan membeberkan proses
kreatif menulis cerpen maupun puisinya. "Hiburan
terbaik bagi diri saya adalah membaca cerpen-cerpen saya sendiri," gumam Gunawan sambil tertawa
menceritakan proses kreatifnya. Diskusi yang dipimpin oleh Kalis Mardiasih, dan
dipandu Udji Kayang Aditya Supriyanto
membedah empat buku terbaru Penerbit Divapress dan Penerbit Basabasi. Diskusi
ini dihadiri pula oleh Pak Edi Mulyono, Triyanto Triwikromo, Joni Ariadinata, Tia Setiadi, Eko Triono, Karisma Fahmi dan
beberapa penulis asal Solo sepeti Indah Darmastuti, Yuditeha dan banyak
lainnya.
Gunawan
Tri Atmodjo atau GTA yang dikenal mengangkat kata-kata humor dan kadang dibilang
tabu dalam cerpen maupun statusnya
juga sempat melontarkan humor terkait beberapa kata seperti, Ngeloco,
Slimicinguk, dan kata-kata lainnya yang pernah dia gunakan dalam
cerpennya. "Di satu sisi saya ingin menyelamatkan
diksi tersebut yang sudah hampir punah, dan di sisi lain saya ingin menjadi
wakil dari kalian yang tidak berani mengucapkannya," tukas Gunawan
sambil tertawa. Kata-kata seperti Ngeloco sering dianggap tabu dan saru.
Banyak orang cenderung menggunakan kata Onani maupun Masturbasi, padahal
memiliki arti yang sama.
Dalam hal ini
saya memandang Gunawan tidak sedang mempertontonkan kata-kata tabu yang pantas
ditiru, tapi beliau hanya mencoba berkarya dengan jujur menggunakan diksi yang
ada. Dapat kita lihat cerpen-cerpen dengan bahasa yang nyastra terkadang sulit
diterima oleh pembaca umum, justru cerpen dengan diksi sederhana sering kali
mudah dipahami membaca. Sastra
butuh ruang lebar untuk berkarya, seperti menerima kejujuran dan kebebasan
berkarya seperti yang dilakukan Gunawan. Sekali pun sastra di era ini masih
tersekat aturan tabu, sara dan keterbatasan lainnya. Karya-karya yang bagus dan
mengangkat tema-tema yang kontroversial seringkali tidak mendapat tempat di
media. Justru karya-karya yang dianggap biasa, atau bahkan buruk mendapat
tempat seluas-luasnya. Sastra juga butuh humor sebagai penyegaran agar pembaca
tidak bosan.
2. Sastra dan Ruang Sempit
2. Sastra dan Ruang Sempit
Seperti
yang kita tahu, ruang lingkup sastra di media cetak semakin sempit dengan
tutupnya Majalah horison dalam bentuk cetak. Juga menyusul
tutupnya beberapa koran atau media lain. Sementara itu perhatian pemerintah juga tidaklah luas
untuk para pegiat sastra di negeri ini. Hingga sering kali para sastrawan
menempuh jalur independen untuk memperjuangkannya. Seperti langkah yang
dilakukan oleh Pak Edi Mulyono, Joni Ariadinata, Tia Setiadi, Dan beberapa orang lainnya yang
bergelut memperjuangkan sastra di jalur sastra perjuangan. Sastra perjuangan
sendiri mulai dikenal dengan munculnya buku-buku sastra yang diterbitkan oleh
penerbit Divapress dan Penerbit Basabasi. Buku-buku seperti Tuhan Tidak Makan
Ikan, Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu, Saleh Ritual
Saleh Sosial (Gus Mus), Ketika Lampu Berwarna Merah (Hamsad Rangkuti) dan buku-buku lainnya menjadi
tombak awal munculnya sastra perjuangan. Disusul oleh lini baru Divapress,
Penerbit Basa-basi yang mengusung buku-buku sastra penulis muda seperti, Lidah
Mertua (Benny Arnas), Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti
Mersault (Risda Nur Widia), Pemanggil Hujan dan Pembaca Kematian (Karisma
Fahmi), Babi-Babi Tak Bisa
Memanjat (Ken Hanggara) yang siap meramaikan dunia sastra.
"Tidak mudah memperjuangkan
sastra di jalur ini. Terlebih karena minimnya ruang untuk buku-buku sastra di
negeri ini. Saya mendirikan Basabasi dan basabasi.co bukan semata-mata untuk
uang. Tapi untuk menjaga sastra tetap ada di negeri ini," ungkap Pak Edi Mulyono di
sela-sela diskusi. Negeri
ini butuh ruang untuk para penulis berekspresi, salah satunya lewat penerbit
dan koran yang mau menerbitkan karya-karya mereka, meskipun ruang tersebut
sudah semakin sempit.
3.
Sastra dan Realita
Di satu sisi jika kita mau melihat lebih dekat,
Indonesia tidak kekurangan para penulis yang siap memajukan dunia literasi.
Tapi di sisi lain, minimnya media dan ruang sempit menjadi tantangan pertama
para penulis. Persaingan, seleksi, tentunya menjadi proses yang harus dihadapi
antar penulis. Dalam hal ini akan muncul dua kemungkinan lahirnya penulis yang
pantang menyerah dan penulis yang anti mainstream. Penulis yang pantang
menyerah, tidak gampang putus asa ketika naskah ditolak, juga mau belajar untuk
memperbaiki tulisannya mempunyai peluang besar untuk bertahan di dunia literasi
yang keras ini. Yang kedua adalah penulis anti mainstream
“Dunia tak butuh dua
Tere Liye. Dunia cuma butuh satu Tere Liye. Tere Liye yang asli. Dunia
tak butuh dua J.K. Rowling. Dunia cuma butuh satu J.K. Rowling. J.K. Rowling
yang asli. Maka jadilah dirimu sendiri. Dirimu yang
seasli-aslinya. Karena orang lain, atau hal-hal lain yang
ingin kau tiru itu, sudah ditemukan.” Seperti apa yang
dituliskan oleh Gari Rakai Sambu dalam statusnya, saya sepakat
bahwa mengekor atau mengikuti jejak penulis lain, belum tentu berakhir baik.
Seperti yang kita tahu, Tere Liye bisa dibilang merajai dunia perbukuan saat
ini. Buku-bukunya best seller, fansnya yang berjibun, tentunya para penulis
menginginkan kesuksesan yang sama seperti yang didapatkan tere liye. Tapi,
sekeras apa pun kau menjadi Tere Liye, Indonesia tetap hanya akan mengenal satu
Tere Liye. Ini realitanya.
Penulis
butuh identitas dan identitas tercipta dari ciri khas yang diciptakan oleh
penulis itu sendiri, melewati proses yang panjang hingga ciri khas tesebut
muncul ke permukaan. Istilah lainnyan penulis antimainstream. Di
satu sisi, sastra kadang membutuhkan humor-humor yang baru sebagai sarana
hiburan, tapi di sisi lain terkadang seleksi media yang menetapkan aturan baku
sastra menjadi realita yang sulit dipungkiri penulis. Memilih menjadi anti
mainstream atau mengikuti jalur media, merupakan pilihan yang terbuka untuk
saat ini. Memperjuangkan sastra di jalur ini saja sudah begitu sulit, ditambah
lagi dengan aturan baku yang terkadang mengungkung penulis tidak menjadi
dirinya sendiri. Tetapi keluar dari kungkungan aturan juga menjadi risiko besar
yang harus ditempuh penulis. Penulis harus
memilih menjadi penulis seperti apa.
Endang Indri Astuti, pecinta romance, penulis tinggal di Klaten.
Komentar