Puisi Kisah di Senja yang muram Jalan Slamet Riyadi, Bocah Kecil Menanti Langit yang Terbelah, Kau Tidak Menunggu Tuhan, Tuan, Menenggelamkan kata di matamu (Dimuat di Radar Mojokerto)
Suatu Kisah di
Senja yang Muram Jalan Slamet Riyadi
;
Seto Permada
Kita
pernah mengukir senja, pada kisah yang berakhir bahagia
Anakanak
kecil yang muram, memandangi kita bak Arjuna dan Sembadra
Kita
mencari arah, hingga lupa pada peta
Kita
mencari jalan, hingga lupa pada perpisahan
Hujan
datang bersama anak buahnya; rintik yang riang
Bersama
angin mengintip dari celah gedunggedung pembelai langit
Kita
lupa arah, hingga jam bergulir bak kekosongan
Kau
memunguti diksidiksi yang berceceran
Dengan
sebelah tanganmu yang kosong kau membelah kepala
Aku
menyaksikannya dengan mata yang redup,
Lalu
ada sebait puisi di matamu; di senja yang muram saat langkah kita berjauhan
(Jalan
Slamet Riyadi, 24 April 2015)
Bocah Kecil Menanti
Langit yang Terbelah
Di
wajahnya ada gambaran masa lalu dan masa silam
Bocah
kecil dengan langkah ringan menapak jalan yang terbakar
Dia
menjunjung harap di kepalanya
Memikul
matahari dan bulan di atas kedua pundaknya
Duduk
termangu memangku harapan
Wajahnya
menengadah; seolah meminta kekasih pada Tuhan kelak untuknya dewasa
Lalu
lalang masa lalu dan masa depan hanya kilasan di hadapannya
Bocah
itu meradang,
Langit
terbelah, deru mesin pesawat menyibak awan
Tuhan
mengukir senyum sempurna di wajah bocah itu dalam sekejap
Matanya
berbinar-binar, ada kupu-kupu malaikat di atas kepalanya
“Motor Mabur, aku jaluk duite sithik wae,”
bocah kecil itu berteriak
Langit
terbelah; hujan jatuh bersama teriakannya.
Dia
tertawa getir; entah Tuhan, atau bocah itu.
(Solo Baru, 15 Juni 2016)
Kau tidak Menunggu
Tuhan, Tuan
; Hamsad Rangkuti
Yang
kau lahirkan di tanganmu bukan hanya bualan
Yang
kau lahirkan di tanganmu bukan hanya kebohongan
Yang
kau lahirkan di tanganmu sebuah narasi kehidupan
Aku
belajar tentang getir yang sempurna
Tentang
tawa yang sederhana, tentang segala kisah narasi kehidupan
Tuan,
kau tidak sedang menunggu Tuhan
Kau
tidak sedang menunggu seseorang untuk menghapuskan bekas bibirnya di bibirmu
Karena
kau, tuhan untuk kisah yang kau tulis dan belum saatnya kau selesaikan
(
Klaten, 6 Juli 2015)
Menenggelamkan Kata
di Matamu
Menenggelamkan
kata menjadi telaga
Mengalir
buihbuih bening aliran mata
Kutenggelamkan
rindu di selasela iris matamu,
Di
belakang kornea kutitipkan seiris jingga
Kuselipkan
bermacam-macam kenangan tentang kita
Berupa
puisi tanpa nama
Kelak,
jika dia tak ada akan kuselami matamu dan tenggelam di dalamnya
;
mencari kenangan
(Kota
kelahiran 20 Juli 2016)
Komentar